Ulama Jadi Bagian Kekuasaan Hilangkan Peran Civil Society
Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara Rakernas LDII yang dihelat di Grand Ballroom Minhaajurrosyidin, Jakarta, pada Selasa (7/11).
“Ulama atau cendikiawan harus mempunyai derajat kemandirian. Bagaimana mereka bisa kritis dan bisa mengembangkan wawasan tentang demokrasi,” ujarnya usai menjadi pembicara Rakernas LDII 2023.
Ketika para ulama tidak memiliki derajat kemandirian, mereka akan selalu berusaha mendapatkan sesuatu dari para penguasa. “Kalau mereka tidak mempunyai derajat secara ekonomi dan selalu berharap kehidupannya disantuni oleh elit politik,” paparnya.
Ia menjelaskan, kejayaan Islam dapat dicapai saat para ulama membangun kerja sama dengan para pengusaha. Sehingga mereka berperan sebagai masyarakat yang independen.
“Maka di dalam sejarah kejayaan Islam itu terjadi, para ulama independen karena mereka itu punya networking dengan para pengusaha,” lanjutnya.
Indonesia, tambahnya, dahulu santri itu disebut pedagang. Dalam perkembangannya, santri-santri itu tidak meneruskan tradisi berdagang tapi masuk ke dalam birokrasi.
“Sehingga sekarang sektor perdagangan lebih dikuasai oleh kelompok-kelompok yang fokus di bidang itu. Lama-lama tingkat kapital mereka tinggi,” urainya.
Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu menegaskan, saat ini masih sangat memungkinkan para ulama menjadi kaki tangannya penguasa. “Misalnya dalam pemilihan umum sebuah Ormas keagamaan juga masih banyak terlibat oleh elit politik. Padahal ormas keagamaan ada dasarnya. Masyarakat sipil harus independen, tidak ada ikatan dengan politik. Ketika mereka tersandera maka kekuatannya sebagai civil society akan hilang,” tambahnya.
Ia menukil ucapan Imam Ghazali yang menyebut rusaknya umat itu karena rusaknya ulama. “Karena hilangnya basis ekonominya, mereka mengemis kepada penguasa sehingga umat tidak lagi ada yang membela,” tutupnya.